Sabtu, 09 Mei 2009

Aku melihat, aku menangis dan aku ingin berbuat


Di padang ilalang demokrasi
Kulihat tubuh-tubuh ringki
Yang tak lagi kuasa berdiri
Karena mereka sudah terlalu letih…

Kulihat mereka telanjang
Dan tanpa alas kaki
Terus merangkak dan merangkak
Hingga darah mengalir tanpa henti…


Mereka digiring pengembalah berdasi
Dengan perut yang muat semua isi bumi
Yang setiap saat menganyunkan cambuk
Untuk mengiring mereka kepadang kesengsaraan

Dalam pupil seorang anak desa yang sekian lama dia terlahir dan harus bernafas udara yang bercampur dengan belerang-belerang kebohongan yang semua atas nama demi rakyat. Telah terekan dan kemudian terpatri dibilik-bilik memorinya adegan demi adegan kesewenang-wenangan. 11 tahun sudah, rakyat telah dibawa untuk mentranformasikan budayah yang sekian lama carut marut namun hingga hari ini kita masi menjadi orang yang sama seperti sebelum 11 tahun yang lalu. Masyarakat yang hari ini semakin sekarat dengan permasalah-permasalahan rutinitas seperti lapangan kerja, tingginya biaya hidup, fasilitas umum yang belum memadai (kesehatan masi terlalu mahal dan pendidikan menjadi komoditi perdangan) mahalnya biaya pertanian dan murahnya harga hasil panen.

Hal-hal diatas bukan tidak bisa diselesaikan namun hingga hari ini kita belum memiliki seorang pemimpin yang mampu melaksanakan fungsinnya sebagai seorang yang mengabdikan hidupnya untuk rakyat melainkan bagaimana rakyat mengabdikan seluruh hidup rakyat untuk mereka. Bagaimana kita lihat fenomena ketika pejabat melakukan tur keliling wilayahnya yang harus dikawal polisi lengkap dengan sirine yang terdengar dipenjuru kota. Padahal dengan melakukan tindakan yang semacam ini selain mengangu aktifitas masyarakat juga mereka tidak Pemimpin-pemimpin kita masi orang-orang yang dibentuk oleh orde-orde yang bagaimana agar dia dapat mengambil sebanyak-banyaknya, bagaimana agar keluraganya kaya raya dan persetan dengan yang lainnya. Koropsi yang masi meraja relah bukan hanya dipemerintahan tapi juga diwilayah-wilayah agama, bukan hanya ditingkat-tingkat elet bahkan ditingkat desa. Suatu kondisi yang ironis bahwa hari ini, ditengga masyarakat yang memiliki kepercayaan kepada tuhan, masyarakat yang memiliki moral,masyarakat yang konon katanya berbudaya.

Disisi lain yang tak kalah ironis, pimpinan-pimpinan agama yang seakan-akan mendiamkan semua itu. Belum ada suatu tindakan kongkrit yang mereka lakukan, Entah apa yang mereka pikirkan… bukakkah mereka mempunyai tugas untuk mengajak berbuat baik dan mencegah kejahatan???? Bahkan pada kondisi tertentu merekah malah menjadi corong-corong pemerinta yamg enta mereka tau apa yang mereka lakukan.

Hari ini tinggal kita, genersi-genersi muda yang sembarai kecil memakan bangkai-bangkai kebohongan dan memum comberan kebodoan. Apa hari ini kita tidak ingin memilih atau kita tidak berani memilih untuk menjadi generai yang lebih baik. Janganlah kita diam wahai genersi mudah, jikalau dulu kita makan bangkai dan meminum cemberan karena kita tidak punya pilihan namun hari ini kita telah menjadi orang-orang yang punya akal orang-orang yang punya kuwajiban untuk membangun masyarakat yang beradap, membangun masyarakat yang menjadikan agama sebagai jalan hidupnya bukan hanya sebagai identitas maupun simpul kekuasaaan semata. Katanka kita tetap diam saudaraku, lihatlah disekeliling kita betapa banyak orang-orang ringki yang setiap saat dicambuk oleh penguasa-pengusa yang tholim, bukankah mereka saudara kita, keluarga kita bahkan hari ini kita telah merasak sendiri ribuan jambukan yang sama, apakah kita tidak merasakan rasa sakit dan perinya?????

Wahai generasi muda…
Hari ini waktunya kita memilih …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar